HIJRAHLAH DARI SISTEM JAHILIAH!
Waktu terus bergulir tidak
terasa umat Muslim segera memasuki Tahun Baru 1446 Hijrah. Ada anjuran mulia dari
agama ini setiap terjadi pergantian waktu, yakni merenungi kondisi diri, baik
secara pribadi maupun sebagai umat: apakah dengan pergantian masa diri kita semakin
baik di hadapan Allah Subhanahu wa ta'ala? Apakah kita semakin taat dan bersungguh-sungguh
menjalankan syariah-Nya? Ataukah kita stagnan alias tidak berkembang? Atau kita
malah semakin menjauh dari petunjuk-Nya dan mengulang kesalahan-kesalahan yang
sama?
Sejarah Penanggalan
Hijrah
Tahun
Baru Hijrah identik dengan peristiwa Hijrah Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Said bin Musayyib radiyallahu anhua. meriwayatkan
bahwa yang mengusulkan peristiwa Hijrah Nabi saw.—yakni saat beliau
meninggalkan negeri syirik (ardh asy-syirki) atau darul kufur (Makkah)
ke Darul Islam (Madinah)—sebagai awal perhitungan kalender Hijrah adalah Ali
bin Abi Thalib radiyallahu anhu. Adapun yang mengusulkan Muharram sebagai awal bulan Tahun Hijrah
adalah Utsman bin Affan radiyallahu anhu. Kemudian hal ini diputuskan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab radiyallahu anhu.
Memang
betul, hijrah ke Madinah baru berlangsung pada bulan Safar. Namun, tekad untuk
berhijrah sudah muncul sejak bulan Muharram. Ini karena pada bulan Dzulhijjah
telah terjadi Peristiwa Baiat Aqabah kedua. Saat itu kaum Muslim dari Madinah
telah menyatakan kesiapan mereka untuk melindungi Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Mereka pun siap
menjadikan negeri mereka (Madinah) sebagai tujuan hijrah dan penegakan
kekuasaan Islam. Sejak saat itu terbagilah wilayah dunia menjadi dua: Darul
Islam (Negara Islam) dengan darul kufr atau dar asy-syirk (negara
kufur/negara syirik).
Berkaitan
dengan hal ini Khalifah Umar bin al-Khaththab radiyallahu anhu. menyatakan alasan Peristiwa Hijrah
Nabi Shallallahu alaihi wasallam. sebagai awal perhitungan kalender bagi kaum Muslim:
بَلْ نُؤَرِّخُ لِمُهاجَرَةِ رَسُوْلِ الله، فَإِنَّ مُهَاجَرَتَهُ فَرْقٌ
بَيْنَ الْحَقِّ وَاْلبَاطِلِ
Akan tetapi, kita akan
menghitung penanggalan berdasarkan Hijrah Rasulullah. Sebabnya, sungguh hijrah
beliau itu telah memisahkan antara kebenaran dan kebatilan (Ibn Al-Atsir, Al-Kâmil Fî
at-Târîkh, 1/3).
Hijrah dan Perubahan
Makkah
yang ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. dan kaum Muslim adalah negeri yang
menjalankan aturan-aturan jahiliah. Masyarakat Arab jahiliah di Makkah saat itu
mempertahankan sistem kehidupan mereka; syirik, perdukunan dan takhayul,
perjudian, riba, perzinaan, kecurangan dalam perdagangan, ketimpangan ekonomi,
penindasan terhadap perempuan dan kaum dhuafa, serta fanatisme kesukuan, dan lain-lain.
Pada saat
yang sama mereka terus-menerus memusuhi Islam yang didakwahkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Ini karena Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. mendakwahkan Islam untuk mengubah secara total
peradaban dan aturan-aturan kehidupan kufur saat itu. Beliau membawa aturan
Islam yang berisi penentangan terhadap pelacuran (Quran surat 24: 33), larangan membunuh
bayi perempuan (Quran surat 81: 8-9), pengharaman riba (Quran surat 2: 275-276), larangan curang
dalam perdagangan (Quran surat 83: 1-3), pengharaman miras dan judi (Quran surat 5: 90-91), dan sebagainya.
Tentu dakwah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. berbenturan keras dengan kekuasaan
kaum musyrik Quraisy yang mempertahankan status quo di Makkah dengan sistem
jahiliahnya. Karena itulah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. mulai mendakwahi berbagai kabilah di
luar Makkah dan memohon kepada Allah Subhanahu wa ta'ala agar diberi kekuasaan yang dapat
mengokohkan dakwah Islam.
وَقُلْ رَبِّ
أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ
لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا
Katakanlah, "Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara
masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku dengan cara keluar yang benar, serta
berilah aku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (Terjemah Quran surat al-Isra’
[17]: 80).
Jelas, peristiwa Hijrah Nabi Shallallahu alaihi wasallam. bukanlah dalam rangka melarikan
diri atau ber-’uzlah, tetapi demi menegakkan institusi negara yang menjalankan
sistem kehidupan Islam. Madinah akhirnya menjadi Negara Islam pertama sekaligus
titik sentral dakwah dan kekuasaan Islam (nuqthah al-irtikaaz).
Dari
Madinahlah kekuasaan dan dakwah Islam tersebar ke seluruh negeri dan kabilah.
Hingga wafatnya Baginda Nabi Shallallahu alaihi wasallam., kekuasaan Negara Islam telah meliputi
Jazirah Arab. Umat manusia pun berbondong-bondong memeluk Islam karena
menyaksikan kemuliaan dan keadilan ideologi Islam (Lihat: Quran surat an-Nashr [110]:
1-3).
Jahiliah Modern
Hal yang patut diperhatikan oleh umat bahwa
kondisi jahiliah bukanlah terbatas pada zaman dan kondisi tertentu. Jahiliah
adalah sifat yang identik dengan kondisi yang bertentangan dengan ketentuan syariah
Islam. Keadaan ini ternyata terjadi pula hari ini sekalipun di negeri yang
mayoritas Muslim. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ
حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum jahiliah
yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah
bagi kaum yang yakin? (Terjemah Quran surat al-Maidah [5]: 50).
As-Sa’di
dalam tafsirnya menjelaskan hukum jahiliah sebagai seluruh hukum yang
menyelisihi apa yang Allah Subhanahu wa ta'ala turunkan kepada Rasul-Nya (As-Sa’di, Taysiir
Kariim ar-Rahmaan, hlm. 226).
Imam al-Hasan
al-Bashri juga mengatakan, “Siapa saja yang berhukum dengan selain hukum
Allah, berarti dia berhukum dengan hukum jahiliah.” (Ibnu Katsir, Tafsiir
al-Qur’aan al-‘Azhiim, 3/120).
Faktanya
hari ini umat hidup dalam sistem jahiliah modern, yakni sistem sekulerisme-liberalisme.
Ajaran Islam dikebiri hanya dalam urusan ibadah, ahlak dan keluarga. Bahkan
akidah umat pun terancam dengan dipaksa untuk menerima paham pluralisme dan
sinkretisme. Contohnya salam lintas agama. Dewan Pengarah Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila (BPIP) Amin Abdullah menyebut fatwa MUI yang mengharamkan
salam lintas agama sebagai ancaman untuk Pancasila. Sama artinya BPIP menempatkan
ajaran Islam sebagai musuh berbahaya di negeri ini.
Kualitas ibadah umat pun jauh dari kata layak. Pada tahun
2018, berdasarkan survei Departemen Kaderisasi Pemuda PP Dewan Masjid Indonesia
(DMI) yang bekerjasama dengan Merial Institute, ditemukan data bahwa hanya 33,6
anak muda yang selalu datang beribadah di masjid setiap hari. DMI juga
mendapatkan data bahwa 65 persen Muslim Indonesia belum bisa membaca al-Quran!
Nilai-nilai sosial di Tanah Air yang berlaku hari ini adalah
hedonisme atau mencari kepuasan fisik dan permisifisme alias serba boleh. Dampaknya,
tingkat perzinaan di Tanah Air terus meningkat, bahkan dilakukan sejak usia
remaja. Pada tahun 2023, BKKBN mencatat bahwa sebanyak 60 persen remaja usia
16-17 tahun sudah melakukan hubungan seksual. Lalu pada usia 14-15 tahun ada
sebanyak 20 persen dan pada usia 19-20 sebanyak 20 persen. Pada saat yang sama angka
pernikahan dan kelahiran anak secara nasional justru semakin menurun.
Sistem
ekonomi yang diterapkan adalah kapitalisme-liberalisme. Dalam sistem ekonomi
semacam ini produksi dan konsumisi miras justru dibolehkan, riba termasuk pinjol
(pinjaman online) dihalalkan, judol (judi online) dibiarkan, sedangkan rakyat
terus dibebani dengan kenaikan pajak dan pungutan seperti Tapera. Sementara itu
kekayaan alam justru diserahkan kepada swasta dan asing untuk dieksploitasi. Di
sisi lain kesenjangan ekonomi semakin dalam. Satu persen orang superkaya menguasai
hampir separuh kekayaan nasional. Pada saat yang sama, pada tahun 2022, ada 16
juta lebih warga Indonesia menurut FAO mengalami kelaparan, lalu menurut Kemenkes
ada 7 juta anak alami gizi buruk.
Demokrasi
yang menjadi sistem politik saat ini dengan filosofi vox populi, vox dei
(suara rakyat adalah suara Tuhan) justru sering melahirkan kebijakan yang
merugikan rakyat. UU Cipta Kerja, UU Minerba, UU Omnibus Law Kesehatan dll
adalah produk sistem demokrasi yang jauh dari kemaslahatan rakyat dan malah
berpihak pada oligarki. Dalam demokrasi rakyat hanya dibutuhkan suaranya di
bilik suara, bukan di gedung legislatif.
Berhijrah Total
Karena itu umat saat ini wajib melakukan perubahan total:
meninggalkan segala hal yang Allah Subhanahu wa ta'ala larang menuju ketaatan total kepada-Nya.
Nabi Shallallahu alaihi wasallam. bersabda:
وَالْمُهَاجِرُ
مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
Orang yang berhijrah adalah
orang yang meninggalkan segala larangan Allah (Hadist Riwayat al-Bukhari).
Untuk itu
tidak cukup sekadar hijrah secara pribadi, seperti memperbaiki ibadah dan akhlak
pribadi. Lebih dari itu umat wajib diseru untuk menjalankan syariah Islam
secara kaaffah (total). Pelaksanaan syariah Islam secara kaaffah adalah
bukti keimanan dan ketaatan total seorang hamba di hadapan Allah Subhanahu wa ta'ala. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ
لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا
يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasakan dalam hati mereka sesuatu keberatan apapun atas putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima keputusan itu dengan sepenuhnya (Terjemah Quran surat an-Nisa’ [4]: 65).
Namun demikian, pelaksaan syariah Islam
secara total tidak mungkin terlaksana tanpa institusi negara. Berbagai
kemungkaran tak akan hilang tanpa ada kekuatan hukum yang dijalankan negara. Di
sinilah umat wajib menyadari bahwa eksistensi Negara Islam atau Khilafah Islam yang
akan menerapkan aturan-aturan Allah Subhanahu wa ta'ala secara kaaffah adalah
keniscayaan dan kewajiban syariah.
WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. []
BENAR, SALAM LINTAS AGAMA HARAM
BENAR, SALAM LINTAS AGAMA HARAM
Pada 28 sampai 31 Mei 2024 yang lalu, Majelis Ulama Indonesia (M U I) menyelenggarakan Kegiatan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia. Tema yang diangkat adalah, "Fatwa: Panduan Keagamaan untuk Kemaslahatan Umat". Kegiatan tersebut diikuti oleh 654 peserta dari berbagai unsur dalam M U I, ormas-ormas Islam, para peneliti dari berbagai universitas, dan lain sebagainya.
Di antara hal yang diputuskan dalam pertemuan tersebut adalah larangan (pengharaman, red.) penggabungan ajaran berbagai agama, termasuk pengucapan salam lintas agama, dengan menyertakan salam berbagai agama. Hal demikian karena mengucapkan salam merupakan doa yang bersifat ibadah. Penggabungan salam lintas agama yang dilakukan sementara ini bukan merupakan toleransi yang dibenarkan (Mui.or.id, 04/06/2024).
Alasan M U I
M U I tentu punya alasan dan dalil. Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (M U I) Arif Fahrudin menjelaskan soal proporsionalitas toleransi di balik fatwa salam lintas agama tersebut. "Tidak semua aspek dalam Islam bisa ditoleransi. Yang tidak diperkenankan Islam adalah motif mencampuradukkan wilayah akidah dan ritual keagamaan atau sinkretisme atau talfiiq al-adyaan sehingga mengaburkan garis demarkasi antara wilayah akidah dan muamalah," kata Arif seperti dikutip dari situs MUI, Minggu (2/6). Karena itu MUI menganjurkan agar pejabat seyogyanya bisa menjalankan fatwa hasil Ijtimak Ulama tersebut (Detik.com, 4/6/2024).
Sebenarnya, apa yang diputuskan oleh M U I pada pertemuan tersebut bukan hal yang baru. Pada tahun 2019 yang silam, Majelis Ulama Indonesia (M U I) Provinsi Jawa Timur juga pernah mengeluarkan tausiyah atau himbauan dalam surat bernomor 110/MUI/JTM/2019 agar tidak melakukan salam lintas agama karena dinilai syubhat yang dapat merusak kemurnian dari akidah umat Islam.
Larangan atas salam lintas agama ini tentu tak ada kaitannya dengan persoalan toleransi antar pemeluk agama. Dalam hal keharusan bertoleransi dengan non-Muslim jelas umat Islam udah paham. Bahkan karena sikap toleran umat Islamlah kehidupan antar pemeluk agama-agama bisa hidup berdampingan secara harmoni di negeri ini. Ini adalah fakta yang tak terbantahkan.
Salam Lintas Agama Haram
Salam lintas agama, sebagaimana juga doa lintas agama, jelas haram. Pasalnya, selain mencampuradukkan ajaran Islam dengan agama-agama lain (sinkretisme), salam lintas agama juga mengandung unsur tasyabbuh bi al-kuffaar (menyerupai kaum kafir). Bagi seorang Muslim, menyerupai kaum kafir—baik dalam ibadah maupun perilaku mereka—jelas haram. Sebabnya, jika kita menyerupai mereka (kaum kafir), maka kita termasuk ke dalam barisan mereka. Dalilnya antara lain sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Siapa saja yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka (Abu Dawud, Sunan Abii Daawud, 11 48).
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. juga bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا لَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَلَا بِالنَّصَارَى فَإِنَّ تَسْلِيمَ الْيَهُودِ الْإِشَارَةُ بِالْأَصَابِعِ وَتَسْلِيمَ النَّصَارَى الْإِشَارَةُ بِالْأَكُفِّ
Bukan termasuk golongan kita (umat Islam) siapa saja yang menyerupai kaum selain kita. Janganlah kalian menyerupai kaum Yahudi maupun Nasrani. Sungguh salam kaum Yahudi adalah isyarat dengan jari-jemarinya, sementara salam orang Nasrani adalah isyarat dengan telapak tangannya (An-Nasa’i, As-Sunan al-Kubraa, 6 92).
Di sisi lain, kaum kafir, terutama Yahudi dan Nasrani, sebetulnya iri dengan salam umat Islam. Karena itu tentu aneh jika kita malah meniru-niru salam mereka. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. bersabda:
مَا حَسَدَتْكُمْ الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ مَا حَسَدَتْكُمْ عَلَى السَّلَامِ وَالتَّأْمِينِ
Tidaklah kaum Yahudi iri kepada kalian seperti mereka iri atas ucapan ‘salam’ dan ucapan ‘amin’ kalian (Ibnu Majah, Sunan Ibni Maajah, 3 92).
Karena itu sudah selayaknya umat Islam bangga dengan salam khas mereka sendiri, yakni ucapan: Assalaamu’alaykum wa rahmatulLaahi wa barakaatuh. Ini karena salam tersebut merupakan salah satu keistimewaan yang hanya dimiliki oleh umat Islam. Demikian sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.:
إِنَّ اللهَ أَعْطَانِي ثَلاَثَ خِصَالٍ لَمْ يُعْطِهَا أَحَدًا قَبْلِي: الصَّلاَةُ فِي الصُّفُوْفِ، وَالتَّحِيَّةُ مِنْ تَحِيَّةِ أَهْلِ اْلجَنَّةِ، وَآمِيْنَ...
Sungguh Allah telah memberi aku tiga perkara yang tidak diberikan kepada salah seorang pun sebelum aku, yakni: shalat dalam shaf-shaf (shalat berjamaah); ucapan salam yang merupakan ucapan salam penduduk surga (yakni: assalaamu’alaykum, red.); dan ucapan ‘aamiin’…” (Al-Baihaqi, Syu’ab al-Iimaan, 6 482).
Karena itulah para ulama generasi salaf, saat berjumpa dengan Muslim yang lain, tidak suka mengganti salam khas umat Islam sekaligus salam penduduk surga ini dengan ucapan lain (meski ucapan tersebut mengandung doa). Dikisahkan bahwa seorang laki-laki pernah berjumpa dengan seorang ulama besar, Imam Ibnu Sirin rahimahulLaah. Lalu orang itu berkata, “HayyaakalLaahu (Semoga Allah memberikan kehidupan kepada Anda).” Segera Imam Ibnu Sirin berkata:
إِنَّ أَفْضَلَ التَّحِيَّةِ تَحِيَّةُ أَهْلِ اْلجَنَّةِ :السَّلاَمُ
Sungguh ucapan salam terbaik adalah ucapan salam penduduk surga, yakni: Assalaamu’alaykum (Tafsiir Ibni Abii Haatim, 47 500).
Toleransi yang Kebablasan
Jelas, salam lintas agama adalah wujud dari toleransi yang kebablasan. Sebabnya, selain haram dan tak ada urgensinya, salam lintas agama—sebagaimana doa lintas agama—adalah wujud dari toleransi ala pluralisme agama yang bertentangan dengan ajaran Islam. Tidak aneh jika MUI dalam fatwanya No.7/MUNAS VII/MUI/11/2005 telah dengan jelas menyebutkan bahwa pluralisme agama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran Islam dan umat Islam haram mengikuti paham tersebut.
Keharaman pluralisme agama antara lain karena paham ini menyatakan bahwa semua agama benar. Karena itu tidak boleh ada monopoli atas klaim kebenaran (truth claim), termasuk oleh kaum Muslim. Ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Allah Subhanahu wa ta'ala tegas berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
Sungguh agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam (TQuran surat Ali Imran : 19).
Allah Subhanahu wa ta'ala juga berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Siapa saja yang mencari agama selain Islam sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari dirinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi (TQuran surat Ali Imran : 85).
Di sisi lain Allah Subhanahu wa ta'ala tegas menolak klaim kebenaran semua agama selain Islam (Lihat: Quran surat al-Baqarah : 165; Quran surat at-Taubah : 30; Quran surat at-Taubah : 31; Quran surat al-Maidah : 72). Karena itulah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Demi Zat Yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya. Tidaklah seseorang dari manusia yang mendengar aku, Yahudi maupun Nashrani, kemudian mati, sedangkan ia tidak mengimani apa yang telah diturunkan kepada diriku, kecuali dia menjadi penghuni neraka.” (Hadiz riwayat Muslim dan Ahmad).
Mengatasi Intoleransi
Perbedaan keyakinan dan klaim kebenaran (truth claim) di antara para pemeluk agama memang bisa saja memunculkan sikap intoleransi yang bisa mengarah pada konflik (benturan) antar mereka. Namun demikian, selama tidak mengarah pada benturan (konflik) secara fisik, sebetulnya tidak ada masalah. Karena itu benturan (konflik) itu harus diwadahi dalam batas-batas non-fisik, yakni hanya dalam wadah pemikiran dan intelektual semata. Tidak boleh mengarah pada benturan (konflik) fisik. Dengan cara seperti itulah pluralitas (kemajemukan) dalam keyakinan bisa diselesaikan dengan baik.
Inilah yang sesungguhnya diajarkan oleh Islam. Islam tidak memaksa orang non-Muslim untuk memeluk dan meyakini Islam (Quran surat al-Baqarah : 256). Orang non-Muslim, baik Ahlul Kitab (seperti Yahudi dan Nasrani) maupun musyrik (seperti Hindu, Budha, Konghucu, dan sebagainya) tetap bisa hidup di dalam Negara Islam. Tentu saja mereka bebas memeluk keyakinan mereka dan mengklaim kebenaran atas keyakinan mereka.
Hanya saja, melalui proses dakwah yang dilakukan secara argumentatif (bi al-hikmah), dan debat terbuka dengan menampilkan argumen yang lebih unggul (wa jadilhum billati hiya ahsan) (Quran surat an-Nahl : 125), ditopang dengan penerapan Islam dalam seluruh aspek kehidupan, maka orang-orang non-Muslim itu pun akhirnya bisa meyakini bahwa Islamlah satu-satunya agama dan ideologi yang benar. Lalu pada akhirnya mereka berbondong-bondong memeluk Islam, bukan karena terpaksa, tetapi dengan sukarela. Dengan begitu, kebenaran yang sebelumnya mereka klaim pun akhirnya mereka tinggalkan setelah menyaksikan kebenaran Islam. Semuanya itu ditampilkan oleh Islam secara elegan dan rasional. Kisah masuk Islamnya ribuan orang Kristen di Irak di tangan Abu Hudzail al-'Allaf setelah melalui debat intelektual, misalnya, adalah sedikit bukti yang bisa disebutkan di sini.
Menolak Pluralisme
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi toleransi. Wujud toleransi agama Islam adalah menjunjung tinggi keadilan bagi siapa saja, termasuk non-Muslim. Islam melarang keras berbuat zalim serta merampas hak-hak mereka (Lihat: Quran surat al-Mumtahanah : 8). Islam pun mengajarkan untuk tetap bermuamalah baik dengan orangtua walaupun tidak beragama Islam (Lihat: Quran surat Luqman : 15).
Dalam lintasan sejarah peradaban Islam, praktik toleransi demikian nyata. Hal ini berlangsung selama ribuan tahun sejak masa Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. sampai sepanjang masa Kekhalifahan Islam. Intelektual Barat pun mengakui toleransi dan kerukunan umat beragama sepanjang masa Kekhilafahan Islam. Kisah manis kerukunan umat beragama direkam dengan indah oleh Will Durant dalam bukunya, The Story of Civilization. Dia menggambarkan keharmonisan antara pemeluk Islam, Yahudi dan Kristen di Spanyol di era Khilafah Bani Umayah. Mereka hidup aman, damai dan bahagia bersama orang Islam di sana hingga abad ke-12 M.
T.W. Arnold, seorang orientalis dan sejarahwan Kristen, juga memuji toleransi beragama dalam Negara Khilafah. Dalam bukunya, The Preaching of Islam: A History of Propagation Of The Muslim Faith (halaman. 134), dia antara lain berkata, “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh Pemerintahan Khilafah Turki Utsmani—selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani—telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa.”
Alhasil, umat Islam tak membutuhkan paham pluralisme. Cukuplah akidah dan syariah Islam yang menjadi pegangan hidup mereka. Keduanya adalah sumber kebahagiaan di dunia dan akhirat.